selamat datang kawan

pagi cerah siang panas malam dingin tapi salam hangat buat kalian semua yg bersedia mampir disini )>>>>>>> my blog

Selasa, 17 Januari 2012

Perbandingan Hukum Pidana



BAB I
PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang
Indonesia dan malaysia adalah dua negara yang serumpun, namun menganut sistem hukum  yang berbeda. Indonesia yang cukup lama dijajah oleh belanda mengadopsi sistem hukum Civil Law (eropa continental) sedangkan malaysia yang merupakan bekas daerah jajahan inggris menganut sistem hukum common law (anglo saxon). Dua sistem tersebut merupakan bagian dari sistem keluarga hukum di dunia (legal families). Dari torehan sejarah yang ada, nampak pengaruh besar kedua sistem tersebut pada negara-negara yang menganutnya sebagai akibat dai proses penjajahan ataupun penerimaan secara sukarela sesuai dengan ideologi negara tersebut masing-masing. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan kedua sistem tersebut, khususnya dalam hukum pidana, perlu dilakukan perbandingan terhadap hukum masing-masing negara penganut sistem tersebut.
Metode suatu perbandingan dapat kita katakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pemikiran dan pengetahuan manusia sehari-hari. Secara sederhana, dalam berbagai tingkatannya, memperbandingkan satu dengan yang lainnya merupakan hal yang pasti terjadi hampir di dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Sebagaimana Hall menegaskan, ”to be sapiens is to be a comparatist.”
Melalui sejarah yang panjang, teknik perbandingan ternyata telah memberikan kontribusi yang teramat penting dan berpengaruh di seluruh bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Dalam hal ini, perbandingan hukum mempunyai signifikansi terhadap aplikasi yang sistematis dari teknik perbandingan terhadap bidang hukum. Artinya, perbandingan hukum mencoba untuk mempelajari dan meneliti hukum dengan menggunakan perbandingan yang sistematik dari dua atau lebih sistem hukum, bagian hukum, cabang hukum, serta aspek-aspek yang terkait dengan ilmu hukum. Arti penting dari studi perbandingan sebagai sebuah elemen dasar dalam pendidikan hukum juga telah digarisbawahi dalam berbagai laporan resmi.
Perbandingan hukum memilik posisi sentral untuk memberikan kontribusi khusus bagi para ahli hukum yaitu studi yang memiliki signifikansi dan nilai penting untuk penegakkan hukum dalam bingkai formulasi dan pengembangan konsep maupun gagasan, serta memberikan pengetahuan terhadap tipe-tipe kelembagaan yang terlibat di dalamnya.
Para ahli perbandingan hukum dapat pula menyumbangkan kontribusi penting bagi studi ilmu hukum dengan menemukan pengertian konsekuensi umum dari pelaksanaan suatu sistem hukum terhadap pola atau stuktur tertentu dari model kelembagaannya. Sebagai contoh, permasalahan apa yang menjadi kendala utama dalam suatu sistem hukum; dan bagaimana cara menghindarinya ketika suatu sistem mempunyai struktur prosedur dan institusi dari tipe umum yang dijalankan di negara-negara Eropa guna menangani kasus-kasus perdata? Tentunya pertanyaan yang serupa dapat juga diajukan mengenai bagaimanakah sistem dan prosedur hukum yang saat ini digunakan di negara-negara dunia lain.
Penguasaan teknik perbandingan secara otomatis akan memberikan pengetahuan tambahan bagi para Mahasiswa hukum mengenai pola kerja berjalannya suatu sistem hukum, khususnya sistem hukum pada negaranya masing-masing. Lebih dari itu, ilmu dasar dan lanjutan dari subjek perbandingan hukum di masa yang akan datang tentunya menjadikan para mahasiswa hukum lebih peduli terhadap interaksi di antara sistem hukum melebihi kepeduliannya pada sistem hukum yang berlaku saat ini.
Dalam hal ini, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hukum pidana di Indonesia dan hukum pidana malaysia maka akan dilakukan perbandingan hukum pidana kedua negara tersebut, namun tidak secara komperehensif dan menyeluruh melainkan mengenai poin-poin tertentu saja yang signifikan dan disesuaikan dengan literatur yang ada.

B.     Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makahal ini ialah sebagai berikut:
a.       Bagaimana sistematika hukum pidana malaysia?
b.      Bagamaimana perbandingan hukum pidana malaysia dengan hukum pidana indonesia dalam hal penyertaan, perbarengan dan pengulangan, hapusnya hak penuntutan dan hapusnya hak pelaksanaan pidana, kesalahan, bersifat melawan hukum, dan sebab akibat?







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kodifikasi Dan Sistematika Hukum Pidana Malaysia

Hukum pidana negara Malaysia telah terkodifikasi dalam Act No. 574 Code Penal Of Malaysia. Sedangkan hukum pidana indonesia dikodifikasikan dalam KUHP (Undang-Undang No. 1 tahun 1946 jo. Undang-undang No. 73 tahun 1958).
Perbedaan yang paling mendasar ialah KUHP malaysia tidak terdiri atas buku I,II, dan seterusnya sebagaimana dengan KUHP indonesia (yang lama 3 buku dan yang rancangan 2 buku), juga KUHP asing lain, semuanya terdiri atas dua atau tiga atau empat buku. KUHP malaysia langsung terdiri atas bab-bab.
Sistematika hukum pidana indonesia (KUHP terdiri dari tiga buku, yaitu:
-          Buku I yang memuat ketentuan Umum
-          Buku II yang memuat kejahatan
-          Buku III yang memuat pelanggaran
KUHP indonesia mengenal perbedaan antara kejahatana dan pelanggaran . Sedangkan Code Penal Of Malaysia tidak mengenal adanya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran, disebabkan penganut sistem hukum Common law pada umumnya membedakan tindak pidana kedalam kejahatan berat, ringan, dan kejahatan terhadap negara.
Jika dibandingkan dengan KUHP-KUHP modern, maka KUHP Malaysia termasuk KUHP yang ketinggalan zaman. Sistem dan dasarnya sangat berbeda-beda dengan KUHP kita, baik dengan yang sekarang berlaku maupun dengan rancangan KUHP baru.
Adapun sistematika Code Penal of malaysia ialah sebagai berikut:
Bab I pendahuluan, berisi ketentuan-ketentuan berlakunya KUHP ini, yang tercantum sangat singkat. Tidak tercantum asa legalitas. Juga tercantum tentang perubahan perundang-undang yang menuntungkan terdakwa, sebagaimana tercantum dalam banyak KUHP di dunia ini.
Bab II tentang defenisi-defenisi istilah dalam KUHP ini yang dalam KUHP indonesia tercantum pada bagian akhir buku I yaitu bab IX. Sama halnya dengan bab-bab yang lain, disini pun di tambahkan ilustrasi dan penjelasan yang panjang-panjang.
Bab III mengenai pidana, yang jika dibandingkan dengan KUHP indonesia, ketentuan ini kurang lengkap, hanya mengatur tentang pidana terhadap delik gabungan (perbarengan).
Bab IV mengatur tentang pengecualian umum, yang dapat dibandingkan denga ketentuan tentang penghapusan pidana dalam KUHP kita, yang terbagi atas alasan pembenar dan alasan pemaaf. Pengecualian terhadap penjatuhan pidana ini sangat mendetail, dengan penjelasan dan ilustrasi. Pada hakikatnya sama dengan ketentuan dalam KUHP indonesia, hanya nama dan perumusannya sama sekali lain.
Bab V mengatur tentang penganjuran, yan meskipun tidak sama, namun dapat disejajarkan dengan delik menyuruh melakukan (sebenarnya membuat orang lain melakukan atau doen plegen di dalam KUHP kita. Delik =enganjuran di malaysia ini berlaku juga jika orang yang dianjurkan berada di luar malaysia. Delik penganjuran ini diatur mendetail, dengan ilustrasi daan penjelasan yang terinci.
Bab VA, mengatur tentang delik persekongkolan ata kompotan (conspiracy), yang dalam KUHP Indonesia diatur dalam pasal 88. Mulai bab ini KUHP malaysia sudah mencantumkan sanksi pidananya, jadi dapat dikatakan sudah masuk sejajar dengan buku II KUHP indonesia.
Bab VI mengatur tentang delik-delik terhadap negara. Bab ini sejajar dengan bab I buku II (baik yang lama maupun rancangan), meskipun tentu perumusannya sangat berbeda dengan KUHP Indonesia.
Bab VII mengatur tentang delik-delik yang berkaitan dengan angkatan bersenjata, yang tidak ada pidananya dalam KUHP indonesia, tetapi tercantum dalam KUHP tentara.
Bab VIII mengenai delik-delik terhadap ketenteraman umum yang padanannya tercantum dalam bab V buku II KUHP indonesia, tetapi isi dan perumusannya sangat berbeda, misalnya KUHP malaysia mulai dengan pertemuan dan perkumpulan terlarang, sedangkan menurut KUHP indonesia mulai dengan delik kebencian dan permusuhan dan penodaan lambang negara.
Bab IX mengenai delik yang dilakukan oleh pegawai negeri atau yang berkaitan dengan pegawai negeri. Di dalam KUHP indonesia diatur dalam bab XXVIII mengenai delik jabatan. Yang berbeda ialah bahwa beberpa pasal delik jabatan di dalam KUHP indonesia seperti suap-menyuap masuk dalam delik korupsi, sedangkan di malaysia, undang-undang anti korupsinya mempunyai perumusan tersendiri yang bersifat sangat darurat dan menyimpang arti ketentuan KUHPnya. Seseorang pejabat yang korupsi, khususnya delik suap, ia dapat didakwa tiga undang-undang sekaligus, yaitu dua buah undang-undang anti korupsi dan juga delik yang dilakukan oleh atau yang berkaitan dengan pegawai negeri ini di dlam KUHPnya.
Bab X mengenai penghinaan terhadap wewenang yang sah pegawa negeri, yang isinya mengenai pembangkangan terhadap pegawai negeri yang menjalankan wewenangnya yang sah, seperti tidak mematuhi panggilan atau perintah yang lain dari pegawai negeri, mencegah diserahkan kepadanya panggilan dan seterusnya. Ini dapat disejajarkan dengan bab VIII buku II KUHP, meskipun isinya sangat berbeda.
Bab XI mengenai bukti palsu delik-delik terhadap peradilan umum. Di sini diatur tentang sumpah palsu, termasuk pula di sini delik-delik yang biasanya digolongkan di dalam delik contemt of court yang dalam rancangan KUHp baru hal itu dihimpun di dalam satu bab tersendiri.
Bab XII mengatur tentang delik-delik yang berkaitan dengan uang logam atau perangko pemerintah. Ini dapat disejajarkan dengan bab X KUHP tentang pemalsuan uang.
Bab XIII mengenai delik-delik timbangan dan ukuran.di indonesia delik demikian diatur secara khusus di dalam undang-undang tera legal.
Bab IV mengatur tentang delik-delik terhadap kesehatan umum, keselamatan, kesenangan, kesopanan dan kesusilaan. Kalau kita telaah bab ini, maka ternyata diatur secara berurut dan terinci mulai dengan delik tentang kebisingan, kesehatan lingkungan, termasuk penjualan makakan, minuman dan obat yang merusak kesehatan, pencemaran air dan udara, sampai pada keselamatan lalu-lintas di jalanan dan navigasi kapal. Sebagian perumusan bab ini dapat disejajarkan, meskipun sangat berlainan dengan bab VII buku II KUHP indonesia yang mengenai delik yang membahayakan keselamatan umum,manusia,dan benda. Bagian yang lain dapat disejajarkan dengan delik kesusilaan dalam KUHP kita tersebut (bab XIV).
Bab XV mengatur tentang delik agama yang dapat dibandingkan dengan pasal !%^ a bab V buku II KUHP indonesia.
Bab XVI tentang delik terhadap badan manusia. Di sini termasuk delik terhadap nyawa, abortus, pembunuhan bayi, mencederai badan (penganiayaan), pembatasam dan pengurungan orang, penyerangan terhadap orang, penculikan, melarikan orang, perbudakan dan kerja paksa. Jadi, sebagian dapat disejajarkan dengan bab XIX tentang penganiayaan, bab XVIII tentang kejahatan tentang kemerdekaan, semuanya dalam buku II KUHP indonesia.
Bab XVII mengatur tentang delik terhadap harta benda yang sejajar dengan bab XXI tentang pencurian, bab XXIV tentang penggelapan, bab XXX tentang penadahan, bab XXV tentang penipuan dan bab V khususnya tentang delik memasuki tempat kediaman orang, semuanya dalam buku II indonesia.
Bab XVIII mengatur tentang delik yang berkaitan dengan dokumen, perdagangan dan merk, yang sejajar dengan beberapa bab buku II KUHP indonesia, yaitu bab X tentang pemalsuan uang, uang kertas negara dan uang kertas bank, bab XI tentang pemalsuan materai dan merk, bab XII tentang pemalsuan surat.
Bab XIX KUHP malaysia ini telah dihapus.
Bab XX mengatur delik mengenai perkawinan yang dapat disejajarkan dengan bab XIII tentang kejahatan mengenai asal-usul dan perkawinan dalam buku II KUHP indonesia.
Bab XXI mengatur tentang delik pencemaran atau fitnah, yang sejajar dengan bab XVI tentang penghinaan dalam buku II KUHP indonesia.
Bab XXII mengatur tentang delik intimidasi kriminal, penghinaan dan gangguan, yang dapat disejajarkan dengan delik pemerasan dan pengancaman dalam bab XXIII KUHP indonesia.
Secara umum dapat ditarik kesimpulan, bahwa KUHP malaysia tersebut termasuk KUHP kuno, jika dibandingkan misalnya dengan WvS belanda yang sekarang.

kode surat


Dalam menangani suatu perkara, seorang Kuasa Hukum diwajibkan untuk mengetahui kode-kode surat apa saja yang digunakan, khususnya kode-kode surat perkara yang digunakan oleh penyidik. Tidak jarang seorang Kuasa Hukum tidak mengetahui kode-kode surat yang ada dalam sebuah perkara. Dan hal ini menjadi nilai negatif bagi si Kuasa Hukum terhadap kliennya. Berikut kode-kode surat perkara yang sering dipakai dalam sebuah perkara:
P-1      : Penerimaan Laporan (Tetap)
P-2      : Surat Perintah Penyelidikan
P-3      : Rencana Penyelidikan
P-4      : Permintaan Keterangan
P-5      : Laporan Hasil Penyelidikan
P-6      : Laporan Terjadinya Tindak Pidana
P-7      : Matrik Perkara Tindak Pidana
P-8      : Surat Perintah Penyidikan
P-8A   : Rencana Jadwal Kegiatan Penyidikan
P-9      : Surat Panggilan Saksi / Tersangka
P-10    : Bantuan Keterangan Ahli
P-11     : Bantuan Pemanggilan Saksi / Ahli
P-12    : Laporan Pengembangan Penyidikan
P-13    : Usul Penghentian Penyidikan / Penuntutan
P-14    : Surat Perintah Penghentian Penyidikan
P-15    : Surat Perintah Penyerahan Berkas Perkara
P-16    : Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana
P-16A : Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
P-17    : Permintaan Perkembangan Hasil Penyelidikan
P-18    : Hasil Penyelidikan Belum Lengkap
P-19    : Pengembalian Berkas Perkara untuk Dilengkapi
P-20   : Pemberitahuan bahwa Waktu Penyidikan Telah Habis
P-21    : Pemberitahuan bahwa Hasil Pewnyidikan sudah Lengkap
P-21A : Pemberitahuan Susulan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap
P-22   : Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti
P-23    : Surat Susulan Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti
P-24   : Berita Acara Pendapat
P-25    : Surat Perintah Melengkapi Berkas Perkara
P-26    : Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan
P-27    : Surat Ketetapan Pencabutan Penghentian Penuntutan
P-28   : Riwayat Perkara
P-29    : Surat Dakwaan
P-30   : Catatan Penuntut Umum
P-31    : Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Biasa (APB)
P-32    : Surat Pelimpahan Perkara Acara Pemeriksaan Singkat (APS) untuk Mengadili
P-33    : Tanda Terima Surat Pelimpahan Perkara APB / APS
P-34    : Tanda Terima Barang Bukti
P-35    : Laporan Pelimpahan Perkara  Pengamanan Persidangnan
P-36    : Permintaan Bantuan Pengawalan / Pengamanan Persidangan
P-37    : Surat Panggilan Saksi Ahli / Terdakwa / Terpidana
P-38    : Bantuan Panggilan Saksi / Tersngka / terdakwa
P-39    : Laporan Hasil Persidangan
P-40   : Perlawanan Jaksa Penuntut Umum terhadap Penetapan Ketua PN / Penetapan Hakim
P-41    : Rencana Tuntutan Pidana
P-42   : Surat Tuntutan
P-43    : Laporan Tuntuan Pidana
P-44   : Laporan Jaksa Penuntut Umum Segera setelah Putusan
P-45    : Laporan Putusan Pengadilan
P-46    : Memori Banding
P-47    : Memori Kasasi
P-48   : Surat Perintah Pelaksanaan Putusan Pengadilan
P-49    : Surat Ketetapan Gugurnya  / Hapusnya Wewenang Mengeksekusi
P-50   : Usul Permohanan Kasasi Demi Kepentingan Hukum
P-51    : Pemberitahuan Pemidanaan Bersyarat

Pengawasan Terhadap Pegawai Negeri


Pengawasan merupakan salah satu peran penting yang sangat berpengaruh terhadap kinerja pegawai negeri. Begitu pentingnya pengawasan  terhadap pegawai negeri ini sehingga dibutuhkan peraturan perundangan-undangan yang berperan untuk melakukan pelaksanaan pengawasan tersebut.Pengawasan di lingkuntgan kementrian dalam negeri misalnya pemgawasan pegawai negeri tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, mengamanatkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk menyusun Kebijakan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pasal 86 huruf a Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, Inspektorat Jenderal menyelenggarakan fungsi penyiapan perumusan kebijakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota.
            Salah satu yang ada dalam mandat diatas yakni pengawasan intern. Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.

Pengawasan Intern dilaksanakan untuk mewujudkan pencapaian sasaran dan tujuan Kementerian Dalam Negeri dengan prioritas sasaran-sasaran Kementerian Dalam Negeri yang dijabarkan dalam Rencana Strategis Kementerian Dalam Negeri.
Dalam rangka upaya peningkatan kinerja Inspektorat Jenderal yang berorientasi pada  hasil (outcome) perlu ditetapkan rumusan Arah Kebijakan Pengawasan Tahun 2012, sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan program, kegiatan, penyelenggaraan pelayanan masyarakat, serta pengelolaan setiap sumber daya sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan, sekaligus untuk membantu dan mendorong agar tujuan Kementerian Dalam Negeri dapat dicapai secara efektif, efisien, dan ekonomis. Salah satu hal yang menunjang dilaksanakan pengawasan inter tersebut yakni dengan menjalankan fungsi dan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). , APIP harus terus melakukan perubahan dalam menjalankan proses bisnis guna memberi nilai tambah bagi kementerian negara/lembaga dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini sejalan dengan peran pengawasan intern untuk mendorong peningkatan efektivitas manajemen risiko (risk management), pengendalian (control) dan tata kelola (governance) organisasi. APIP juga mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
            Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pemerintah Pusat telah memberikan kepada Penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk melaksanakan asas-asas pemerintahan dengan prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, keistimewaan, kekhususan, memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip  tersebut telah membuka peluang dan kesempatan yang sangat luas kepada daerah otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara mandiri, luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan mutu pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta daya saing daerah. Pelaksanaan Otonomi tersebut memerlukan pengawasan agar selalu berada dalam koridor pencapaian tujuan otonomi daerah.
Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai, melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pengawasan, Pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggaraan pemerintahan daerah apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan dengan tetap memperhatikan asas sentralisasi dan desentralisasi secara bersama-sama, dengan penekanan yang bergeser secara dinamis dari waktu ke waktu dengan penjaminan eksistensi sistem pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh Pemerintah dan Penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk hubungan kewilayahan dan hubungan keuangan pusat dan daerah, Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah kepada Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri
            Kebijakan pengawasan di lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2012 mempunyai tujuan dan sasaran sebagai berikut:
1.         Tujuan:
2.         Mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan;
a.    Mendorong efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas pokok Kementerian Dalam Negeri dan Penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui evaluasi, koordinasi, debottlenecking dan perbaikan kebijakan (policy recommendation) dengan menggunakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik / algemene beginselen van behoorlijk bestuur (AAUPB);
b.   Mendorong terwujudnya akuntabilitas yang tinggi terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi;
c.    Mengawal reformasi birokrasi; dan
d.   Mengawasi disfunctional behavior aparat Kementerian Dalam Negeri  dan penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui surveillance dan investigation.
3.         Sasaran:
a.    Kuantitatif, yaitu untuk mengetahui sampai seberapa jauh maksud program atau kegiatan dalam ukuran kuantitatif telah tercapai.
b.   Kualitatif, yaitu sampai seberapa jauh mutu dan kualitas pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan ukuran dan rencana.
c.    Fungsional, yaitu ukuran untuk mengetahui seberapa jauh kegiatan pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan tujuan atau fungsi yang telah direncanakan semula.
d.   Efisiensi, yaitu seberapa jauh kegiatan pelaksanaan pekerjaan dapat dikerjakan secara hemat dan cermat.
                Selain bentuk pengawasan yang telah dibentuk diatas, ada pula bentuk pengawasan lain yang dapat diaksanakan oleh Badan Kepegawaian Daerah yang mana pembentukannya diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pasal 34 dalam undang-undang ini menyatakan bahwa Untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil,dibentuk Badan Kepegawaian Negara. Badan kepegawaian daerah tersebut merupakan hasil dari bentukan perangkat Kepala Daerah yang diatur dalam Pasal 34 huruf A.  Sebagai mana fungsi Badan Kepegawaian Daerah yang dimaksud emmiliki fungsi menyelenggarakan manajemen Pegawai Negeri Sipil yang mencakup perencanaan, pengembangan kualitas sumber daya Pegawai Negeri Sipil dan
administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian, penyelenggaraan dan pemeliharaan informasi kepegawaian, mendukung perumusan kebijaksanaan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil, serta memberikan bimbingan teknis kepada unit organisasi yang menangani kepegawaian pada instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah seperti yang tercantum dalam Pasal 34 ayat 2 undang-undang tersebut. Pengawasan oleh Badan Kepegawaian Daerah tentunya sangat diharapkan dapat member motivasi untuk reformasi birokrasi di semua lini dalam system pelayanan kepada masyaraka karena tentunya dengan pengawasan yang berkelanjutan kinerja juga akan meningkat keaa rah yang lebih baik yang di ikuti pula dengan pelayanan birokrasi yang memadai.